Abstrak
Keselarasan
hubungan manusia dengan lingkungan fisik, bukan hanya akan dapat
dipakai untuk mengembangkan daya dukung alam, tetapi juga dapat dipakai
untuk mengembangkan diri manusia dan masyarakat. Apabila ini yang
terjadi, akan tercapai suatu keselarasan hubungan antara alam dan
manusia. Kondisi kebudayaan suatu bangsa dan tingkat pembangunan yang
diupayakan berada pada hubungan yang saling mempengaruhi. Karena itu,
keanekaragaman suku-bangsa dan golongan sosial di Indonesia, telah
memunculkan pula terjadinya berbagaipola strategi adaptasi. Oleh
karenanya pemahaman terhadap strategi adaptasi suku-bangsa dan golongan
sosial tertentu, yang tercermin pada peta kognitif dan dipelajarinya
melalui proses sosialisasinya, akan dapat diperoleh pemahaman dan mampu
memberikan penjelasan terhadap fenomena sosial yang sedang terjadi dan
dihadapinya.
Kata Kunci :Perkembangan kebudayaan
1. Pendahuluan
Penulisan
ini dilakukan untuk dapat memenuhi tujuan-tujuan yang dapat bermanfaat
bagi para pembaca dalam pemahaman tentang konsep kebudayaan, ekologi
kebudayaan, pewarisan dan perkembangan kebudayaan, persebaran
kebudayaan, kebudayaan dan inovasi. Secara terperinci ada 2 (dua) yaitu;
(1) Kurangnya pemahaman masyarakat tentang konsep, ekologi, pewarisan
dan perkembangan, persebaran, dan kebudayaan dan inovasi; (2) Kurangnya
pemahaman tentang hubungan konsep, ekologi, pewarisan dan perkembangan,
persebaran, dan kebudayaan dan inovasi terhadap lingkungan.
Terdapatnya
keanekaragaman manusia dan kebudayaan yang berada di muka bumi ini,
telah menarik perhatian dari para ahli antropologi. Pada dasarnya,
kebudayaan adalah proses adaptasi, yang terjadi karena ada yang
berpendapat bahwa konsepsi tentang kebudayaan ialah sebagai strategi
adaptasi terhadap pada lingkungan. Sementara itu, keanekaragaman
kebudayaan adalah disebabkan oleh lingkungan tempat tinggal yang berbeda
(environmental determinism). Penilaian bahwa salah satu dari penyebab
keanekaragaman kebudayaan juga disebabkab oleh factor
ekologi(possiblism).
Sebagian besar masyarakat desa di
Indonesia, diliputi oleh sindrom kemiskinan dan sindrom enersia dan
dimensi yang terkait ke dalam dua jenis sindrom tersebut amat kompleks
dan saling terkait. Karenanya upaya untuk mengembangkan sumber daya
alami yang tersedia di suatu kawasan, sering dihadapkan pada kendala
social-budaya yang melekat pada diri manusia. Introduksi suatu in-put
baru pembangunan akan menyentuh soal preferensi nilai-nilai.
2. Konsep Kebudayaan
Konsep
kebudayaan telah berkembang di kalangan para ahli antropologi, dan
telah berkembang juga di berbagai bidang pemikiran.Masih banyak yang
dijumpai,dan belum ada konsistensi penggunaannya, terutama dalam
pemakaiannya yang juga terdapat kekurang pahaman yang kurang jelas.
Sebagai contohnya, Roger M. Keesing berpendapat pada tahun 1981 dan
Goodenough yang juga mengungkapkan pendapat pada tahun 1957 dan
1961dengan pendapat bahwa dalam konteks definisi serta penggunaannya
seringkali masih kabur, misalnya seperti dalam membeda-bedakan antara
teori "pola untuk perilaku" dan "pola dari perilaku".
Kebudayaan
sebagai "pola untuk perilaku" adalah yang mengacu pada "pola kehidupan
suatu masyarakat",yaitu berupa berbagai kegiataan ataupun bentuk-bentuk
pengaturan sosial dan material. Dan sedangkan pengertian "pola dari
perilaku", adalah berupa gagasan yang mengacu pada sistem pengetahuan
dan kepercayaan, yang menjadi pedoman untuk mengatur tindakan mereka.
Dalam
pengunaan sehari-hari, kata "kebudayaan" dan "budaya"yang dianggap
memiliki sebuah kesamaan dalam ruang lingkup sementaraitu juga, sering
ditemukan kerancuan penggunaan karena sebuah kesalahan dalam
menterjemahkan.
Istilah "culture" diterjemahkan
"kebudayaan", sedangkan "cultutal"bisa diartikan "budaya", padahal
terjemahan yang sebenarnya adalah "culture" diterjemahkan "budaya", dan
sedangkan "cultural" diartikan sebagai "kebudayaan". Selain itu, sering
kali dijumpai yang penggunaannya kata "kultur" yang seolah-olah sama
dengan arti kata "cultural" atau kebudayaan. Dalam hal ini, penggunaan
kata "kultural" beda dengan arti "budaya" yang sejatinya arti dari
"cultural", dan juga sama dengan istilah "kultur"yang tidak bisa begitu
saja diartikan sebagai "kebudayaan".Sepertinya, cara penggunaan
keduaistilah tadi banyak yang masih rancu karena istilah "cultural"
diartikan "budaya". Sebaliknya juga ada pula yang mengartikan kata
"culture" sebagai "budaya" dan kata "cultural" dengan diartikan
"kebudayaan", karena "cultural" merupakan "ajective" dari "culture".
Menurut
beberapa para ahli antropologi yang mengemukakan dalam buku seperti
E.B. Tylor yang menuliskan pendapatnya dalam buku yang berjudul
"Primitive Culture" yang diterbitkan pada tahun 1871, yang berisi tylor
mengungkapkan bahwa kata kultur arti dalam bahasa Jerman adalah sama
pengertiannya dengan sebuah kata "civilization" dalam bahasa Inggris.
Dan berarti istilah "cultural" yang dalam bahasa Inggris, yang sama
sekali tidak bisa diartikan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kroeber
dan Kluckhohn juga mengemukakan pendapat pada tahun 1952 bahwa kata
"civilization" dalam bahasa Inggris dan Perancis yang lebih dulu muncul
dibandingkan dengan kata "culture". Dan kata "civilization" yang dulunya
berasal dari kata to "civilize" digunakan dalam arti sebagai antonim
dari kata "barbarity" yang juga berarti barbar.
Budaya yang
juga sebagai sistem pemikiran yang mencakup dalam sistem gagasan,
konsep-konsep, aturan-aturan dan serta pemaknaan juga yang mendasari dan
diwujudkan dengan kehidupan yang dimilikinya melalui proses belajar.
Dan C. Geertz pula berpendapat bahwa "kebudayaan adalah sistem pemaknaan
yang dimiliki bersama, dan kebudayaan merupakan hasil dari proses
sosial dan bukan hanya proses perorangan". Dalam perkembangannya
terlihat bahwa pembatasan kebudayaannya yang lebih menekankan pada
hal-hal yang dinilai abstrak daripadayang dinilai konkret, seperti yang
dituliskan oleh C. Geertz yang menuliskan dalam bukunya "The
Interpretation of Cultures" pada tahun 1974. Dan ia menganjurkan supaya
dapat memahami suatu kebudayaan yang lebih memperhatikan pemahaman makna
daripada tingkah laku manusia, ataupun hanya sekedar mencari dalam
hubungan sebab akibat. Agar bisa memahami makna dari suatu kebudayaan
maka dari itu para ahli antropologi harus sanggupmemahami simbol-simbol
yang dipergunakan oleh seseorang. Suatu penafsiran konfigurasi atau
sistem simbol-simbol bermakna tadi, harusnya dilakukan secara menyeluruh
dan mendalam. Dengan seperti itu, suatu pemahaman kebudayaan dapat
mencakup bagaimana para warga masyarakat itu melihat, merasakan dan
berpikir mengenai sesuatu di sekelilingnya. Sama dengan pandangan C.
Geertz, dalam sosiologi juga berkembang dalam pemikirannya interaksionis
simbolik dari para ahli antropologi seperti Herbert Blumer mengatakan
tahun 1969 dan Ritzer mengatakan pada tahun 1988 seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.
3. Ekologi Budaya
Ekologi
merupakan ilmu yang mempelajari tentang saling keterkaitannya antara
organisme dengan lingkungannya, termasuk juga dengan lingkungan fisik
dan berbagai bentuk hidup organisme. Sementara itu banyak dari para
kalangan ahli antropologi menyadari bahwa sesungguhnya tidak selalu alam
sekitar itu mempengaruhi kebudayaan suatu masyarakat. Julian H.Steward
pada tahun 1955 melakukan pendekatan ekologi budaya. Ia memakai istilah
cultural ecology, merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana
manusia sebagai makhluk hidup yang bisa menyesuaikan dirinya pada suatu
lingkungan geografi tertentu. Ia terkejut dengan pertumbuhan peradaban
di Peru dan Meso Amerika, yang ternyata menemukan sejumlah persamaan.
Dan dengan itu, ia menyarankan kebutuhan yang akan dikaji dengan
keterkaitan hubungan antara teknologi didalam suatu kebudayaan dengan
lingkungannya, antara lain dengan cara menganalisis hubungan tentang
pola tata kelakuan didalam suatu komunitas dengan teknologi yang
digunakan sehingga, warga dari suatu kebudayaan yang dapat melakukan
aktivitas mereka dan yang pada akhirnya sanggup bertahan hidup
terus-menerus. Dalam rangka analisisnya, yang juga harus mampu
menjelaskan tentang bentuk-bentuk hubungan dari pola-pola tata kelakuan
tersebut dengan berbagai unsur lain dalam sistem budaya mereka. Dibalik
itu semua ada juga yang harus diupayakan dalam mengungkapkan tentang
berbagai lain yang dilakukan sehingga suatu komunitas dapat
tetapbertahan hidup, serta dengan berbagai kegiatan sosial dan dengan
hubungan-hubungan antar pribadi di kalangan mereka.
Awalnya
dari, J.H.Steward mengatakan bahwa proses perkembangan kebudayaan itu
didunia ini memiliki corak khas dan unik. Proses perkembangannya di
berbagai belahan bumi yang tidak terlepas antara satu dengan yang
lainnya, dan bahkan ada pula beberapa diantaranya yang tampak sejajar
dari lingkungan-lingkungan tertentu. Contoh yang ia berikan adalah yang
dilakukan pada saat masyarakat berburu, maka ada kecenderungan mereka
untuk hidup di lingkungan alam yang sulit dengan binatang buruan yang
hidup terpencar. Agar ia dapat mendapatkan binatang buruan, maka mereka
harus benar-benar mengenal lingkungan alam tempat ia berburu. Untuk itu
mereka harus hidup secara berkelompok. Karena ia harus mengambil wanita
dari kelompok lain untuk dikawini, mereka harus membawa gadis itu
kedalam kelompoknya. Apabila dalam suatu lingkungan tertentu jumlah
binatang buruannya terbatas, ia harus hidup dalam kelompok-kelompok
kecil. Dan sebaliknya jika di daerahnya luas dan jumlah binatang di
kawasan buruan itu hidup dalam kawanan besar dan berpindah-pindah secara
berulang tetap menurut musim, maka jumlah anggota kelompok pemburu
tersebut juga akan lebih besar dari kelompok itu. Untuk itu mereka harus
mengembangkan pola-pola hubungan dengan kerabat wanita istrinya, baik
berkaitan dengan pola menetap sesudah nikah maupun adat perkawinanny.
Sama
halnya juga pada kalangan masyarakat yang juga telah mengenal sistem
pertanian. Yang jumlah penduduknya sedikit dan tanah masih luas, mereka
harus berkehidupansecara terpencar dalam desa-desa kecil. Apabila jumlah
penduduk semakin banyak maka akan terjadi kekurangan tanah sehingga
orang tidak lagi didapat begitu saja meninggalkan ladang mereka
yangsudah tidak subur. Orang terpaksa mengerjakan sebidang tanah untuk
waktu yang lama, dan hal ini hanya mungkin dilakukan jika ada irigasi
dan pemupukan.
Dalam perkembangan kemudian, semakin lama
kehidupan mereka semakin kompleks. Sementara itu di kalangan masyarakat
juga terjadi atau muncul berbagai jenis pekerjaan lain seperti tukang
dan pendeta. Untuk itu perlu ditentukan kelas-kelas sosial dari mereka
ini, dan muncullah berbagai aturan yang mengantar hubungan di antara
mereka. Dengan kata lai, suatu perkembangan kebudayaan tersebut disebut
dengan evolusi yang multilinear.
4. Pewarisan dan Perkembangan Kebudayaan
Manusia
dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan,
karena manusia merupakan pendukung kebudayaan. Jika manusia akan mati,
kebudayaan yang dimilikinya akan selalu diwariskan kepada keturunannya,
dan seterusnya. Pewarisan kebudayaa seperti manusia, tidak hanya kepada
anak dan cucu mereka, melainkan bisa juga dilakukan dengan cara manusia
yang satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya. Berbagi
pengalaman dalam rangka kebudayaannya, yang akan diteruskan kepada
generasi berikutnya atau bisa juga dikomunikasikan dengan individu
lainnya karena manusia mampu mengembangkan gagasannya sendiri dalam
bentuk lambang-lambang vokal seperti bahasa,yang dikomunikasikan dengan
orang lain melalui kepandaiannya berbicara dan menulis.
Kebudayaan
berkembang secara akumulatif, dan semakin lama semakin bertambah
banyak. Untuk meneruskan dari generasi ke generasi, diperlukan suatu
sistem komunikasi yang jauh lebih kompleks daripada yang dimiliki
binatang, yaitu seperti bahasa, baik lisan, tertulis maupun dalam bentuk
bahasa isyarat. Agar suatu kebudayaan dapat merespon berbagai masalah
kelangsungan hidup manusia dan tetap dipelajari oleh generasi
berikutnya, serta tetap "lestari" maka suatu kebudayaan harus mampu
mengembangkan berbagai saran yang dapat diandalkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok para individu.
Pada dasarnya ada tiga
pandangan untuk memahami proses perkembangan kebudayaan. Pandangan
pertama, beranggapan bahwa kebudayaan mengandung berbagai fakta sosial
dan merupakan gambaran kolektif untuk mengungkapkan pemikiran dan
perasaan dari para individu. Oleh karena itu tingkah laku manusia
ditentukan oleh kebudayaannya, dan bukan sebaliknya.
Pandangan
kedua, sering dipergunakan oleh para ahli antropologi, dan mengatakan
bahwa suatu konsep untuk suatu konstruksi. Melalui pandangan kaum
konseptualis inilah kebudayaanyang pada akhirnya dapat dipakai untuk
menjelaskan dan menggambarkan berbagai tingkah laku dan yang dihasilkan
oleh makhluk manusia. Menurut R.Linton pada tahun 1945, semua kebudayaan
dapatdijelaskan secara sosiopsikologikal, karena kebudayaan hanya
merupakan wujud dari pikiran seseirang yang akhirnya merupakan suatu
kepribadian jika ia berinteraksi dengan individu lain dalam masyarakat.
Pandangan
ketiga, adalah pandangan yang melihat bahwa kebudayaan itu bersifat
abstrak, dan merupakan suatu konstruksi dan bukannya suatu entitas yang
dapat diperhatikan secara menyeluruh. Sementara itu kebudayaan juga
merupakan sesuatu yang nyata, atau yang tidak perlu dipersoalkan
hakikatnya.
Berbagai unsur kebudayaan asing yang datang,
sering merupakan serpihan (part-culture) dan bukan merupakan budaya
induk (great tradition), dan merupakan pecahan serta terputus dari
budaya induknya. Kebudayaan yang dibawa oleh para perantau Cina di
Indonesia misalnya, bukan budaya dari kalangan "Mandarin" maupun
"bangsawan", melainkan suatu budaya yang dimiliki oleh suatu kolektiva
tertentu. Budaya serpihan tadi juga bukan merupakan suatu "sub culture"
maupun budaya suatu "ethnic groups", karena seringkali dikaitkandengan
konotasi "budaya tingkat rendah". Seringkali budaya serpihan tadi harus
mencari 'gantungan' dan fungsi baru dalam suatu budaya induk baru dan
dalam alam budaya baru. Melalui perjalanan sejarah dapat dipahami bahwa
serpihan budaya tadi terpisah dari induknya sebagai akibat penjajahan
atau penguasaan oleh bangsa asing.
5. Persebaran Kebudayaan
Memahami
sejauh manakah yang dapat menyebabkan perubahan, baik sosial maupun
budaya. Telah disadari bahwa suatu perubahan yang terjadi, tidak selalu
dapat diartiakan sebagai kemajuan namun dapat pula dianggap sebagai
kemunduran karena akibat berubahnya unsur-unsur kebudayaan yang
dimiliki.
Pertama kalinya, studi difusi kebudayaan berawal
dari rasa tertarik untuk mengetahui mengapa beberapa kebudayaan di bumi
seringkali di daerah yang sangat berjauhan, terdapat unsur-unsur
kebudayaan yang sama, baik dalam bentuk-bentuk maupun isinya. Dalam
perkembangan dan persebaran unsur-unsur kebudayaan, ternyata tidak harus
disertai perpindahan dari kelompok-kelompok manusia.Persebaran
kebudayaan terjadi karena komunikasi mereka melalui media komunikasi
seperti buku-buku, suratkabar, majalah, dan berbagai media audiovisual.
Akan
tetapi di Jerman pada akhir menjelang abad ke-XIX yang dipelopri oleh
F. Ratzel, muncul pemikiran lain dalam memandang persamaan yang dianggap
sebagai akibat terjadinya hubungan dari bangsa-bangsa pendukung
kebudayaan di masa lampau dan itu mengakibatkan persebaran kebudayaan
dari suatu tempat ke tempat lainnya. Oleh karena itu, jika ada persamaan
unsur kebudayaan di daerah A, B, dan C; telah mengalami evolui yang
sama, dengan kata lain di tiga tempat itu telah mengalami "independent
envention", atau menurut A.Bastian memiliki persamaan dalam pemikiran
dasar (elementar gedanken). Sedangkan menurut laum difusionis seperti G.
Gerland, bahwa terjadinya persebaran kebudayaan (culture diffusion).
Dan ternyata sependapat dengan kaum evolusi, karenadalam perkembangan
makhluk manusia dan mendapatkan beberapa jenis "invention" saja. Oleh
karenanya, para ahli pada awal abad XX cenderung berpendapat bahwa
terdapatnya sejumlah persamaan unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat
di muka bumi ini lebih disebabkan oleh persebaran kebudayaan.
F.
Ratzel menyimpulkan bahwa persamaan bentuk-bentuk busur, yaitu terlepas
dari variasi bentuk karena perbedaan bahan dan fungsinya. Dan juga
menemukan persamaan-persamaan lain seperti bentuk rumah mereka, topeng,
pakaian dan sebagainnya. Dan disimpulkan bahwa di masa lalu, terdapat
hubungan diantaranya bangsa-bangsa yang mempergunakan busur tersebut.
F.Graebner mengembangkan metode klasifikasi
"Kulturkreise-Kulturschichten" dengan tujuan merekonstruksikan
perkembangan dan persebaran kebudayaan makhluk manusia.
Pemikiran
F.Boasmenganjurkan agar penelitian tentang perkembangan dan persebaran
kebudayaan dilakukan pada suatu daerah yang terbatas. Untuk itu, suatu
kawasan tertentu harus dikaji sedalam-dalamnya untuk memperoleh
pengetahuan tentang hal-hal kecil dalam proses difusi. Menurutnya
terjadi perkembangan unsur-unsur kebudayaan lama ke arah pinggir
disekeliling pusat pertumbuhan. Pemikiran Boas lainnya, dikembangkan
olehmuridnya C.Wessler, yaitu konsep "culture area". Berbagai unsu
kebudayaan, baik yang kongkret (senjata, alat-alat transport) maupun
yang abstrak (sistem kekerabatan, upacara-upacara keagamaan);
berdasarkan atas persamaan sejumlah ciri-ciri yang mencolok, digolongkan
ke dalam suatu daerah kebudayaan.
6. Kebudayaan dan Inovasi
Salah
satu upaya untuk mengkaji perubahan yang terjadi dalam masyarakat
dengan bertitik-tolak dari sumber perubahan. Menurut Rogers dan
Shoemaker, sumber perubahan itu berasal dari dalam disebut dengan
perubahan "immanen" sedangkan sumber yang berasal dari luar disebut
dengan kontak. Perubahan "immanen" terjadi apabila ide baru tersebut
diciptakan dan dikembangkan oleh warga suatu masyarakat tanpa adanya
pengaruh dari pihak luar, dan akhirnya ide baru tersebut menyebar ke
seluruh sistem sosial.
Selanjutnya, kontak memiliki dua
jenis perubahan yaitu selektif dan terarah. Perubahan kontak selektif
terjadi apabila warga suatu system sosial bersikap terbuka terhadap
pengaruh yang datang dari luar. Sedangkan perubahan kontak yang terarah,
memang disengaja oleh pihak luar, misalnya para "charge agent", yang
secara intensif guna suatu tujuan tertentu berusaha memperkenalkan
ide-ide baru.
Sering kali pihak luar yang ingin melakukan
perubahan memandang bahwa perubahan yang akan dia lakukan itu cocok dan
akan ber manfaat dan sebaliknya dengan masyarakat yang meruapkan obyek
dari perubahan recipient. Cara mengetahui dan memahami serta
mengintepretasikan secara baik berbagai gejala dan peristiwa yang
terdapat dalam suatu lingkungan tertentu, kebudayaan memiliki
model-model kognitif yang berperan sebagai kerangka untuk memahaminy.
Oleh karenannya pola-pola kelakuan tertentu yang diwujudkannya oleh
makhluk manusia adalah sesuai dengan rangsangan dan tantangan yang
sedang dihadapinya. Dengan demikian, suatu kebudayaan yang merupakan
serangkaian aturan, strategi, maupun petunjuk; adalah perwujudan
model-model kognitif yang dipakai oleh manusia yang memilikinya guna
mengahadapi lingkungannya seperti yang dikatakan oleh Spradley pada
tahun 1972.
Permasalahannya, sejauh manakah dalam
kenyataannya kebudayaan dari makhluk manusia, baik dalam konteks etnik
maupun golongan sosial; melihat, menginterpretasi dan kemudian
mengadaptasikan dirinya dengan suatu lingkungan fisik tertentu. Dengan
kata lain, suatu komunitas tertentu dipakai sebagai suatu strategi
adaptasi dalam menghadapi suatu lingkungan biogeofisik tertentu sehingga
ia tetap mampu melangsungkan kehidupannya.
Prosesnya juga
dipengaruhi oleh presepsi dan intepretasi seseorang terhadap suatu
obyek, yang selanjutnya menuju pada system kategorisasi dalam bentuk
respon atas kompleksitas suatu lingkungan.
Foster pun
mengemukakan pendapat pada tahun 1969, bahwa ada tiga klasifikasi
tentang hambatan dalam inovasi, hambatan pertama adalah berkaitan dengan
system nilai, perilaku, sikap dan kepercayaan. Kedua hambatan sosial
yang mengutamakan dengan antar individu dan inovasi bertentangan dengan
pranata sosial. Ketiga adalah hambatan psikologis yang berkaitan dengan
penyampaiannya secara pesan program inovasi.
Selain Foster,
ada juga yang mengemukakan pendapat yang mengatakan bahwa hambatan dari
suatu dapat disebabkan melalui aspek ekonomik, yang dikatakan oleh
Rogers dan Shoemaker pada tahun 1987. Dewalt mencoba mengetahui untuk
mengetahui sejauh mana pengaruh dari aspek ekonomik dalam adopsi
inovasi, dan salah satu model yang dikemukakannya adalah "the
homogeneity model".
Keputusan dalam menolak ataupun
menerima bukanlah hal keputusan mutlak, melainkan bisa juga berupa dalam
waktu tertentu. Perubahan pun dapat terjadi secara lambat bisa juga
dengan secara cepat, karena perubahan merupakan akibat dari perencanaan
dan bisa juga merupakan akibat dari yang bukan perencanaan. Jadi jika
sebelumnya sudah menyiapkan konsep untuk menanggulanginya maka dapat
berjalan sesuai perencanaan.
Bidang teknologi dalam inovasi
juga dapat mengakibatkan perubahan kebudayaan. Dan tahap inovasi biasa
melalui dengan dua tahapan, seperti discovery dan inovention. Alat
tertentu yang diciptakan melalui gagasan seseorang ataupun beberapa
orang itu disebut dengan discovery, dan sudah dikatakan inovention
apabila masyarakat sudah menerima adanya teknologi.
7. Kesimpulan
Setelah
dianalisa kajian diatas,ternyata adanya keterkaitan yang saling
terintegrasi,dapat dilihat melalui berbagai fungsi yang terjalin dari
unsur-unsur tersebut, terutama yang menjadi fokus dari suatu kebudayaan,
maupun yang berkaitan dari etos suatu kebudayaan.Kebudayaan mengenal
ruang dan tempat tumbuh kembangkangnya, dengan mengalami perubahan,
penambahan dan pengurangan. Pergerakan ini telah berakibat pada
persebaran kebudayaan, dari masa ke masa, dan dari satu tempat ke tempat
lain. Sebagai akibatnya di berbagai tempat dan waktu yang berlainan,
dimungkinkan adanya unsur-unsur persamaan di samping
perbedaan-perbedaan. Oleh karena itu, suatu kebudayaan dapat dipandang
ketinggalan zaman dan di luar tempatnya dipandang asing atau janggal.
Saran
saya, dengan adanya kebudayaan Indonesia yang semakin berkurang seperti
halnya yang terjadi di Jawa banyak hal penyalahgunaan kebudayaan yang
menjerumus ke aliran yang musrik, seperti yang dilakukan para warga
dengan meletakan sesaji di tempat-tempat yang sakral, itu menurut saya
tidak mempertahankan kebudayaan tetapi malah merusak dan
menghilangkan.Maka dari itu untuk dilestarikan kebudayaannya bukan
mengarah pada hal-hal syirik maupun musrik.
Daftar Pustaka
Poerwanto, Hari. 2008.Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.