semua ini tentang indonesia

Jumat, 18 Desember 2015

sastra jawa

Bidang Sastra
       ABSTRAK
Sejarah Islam di Jawa telah berjalan cukup lama. Selama perjalanan tersebut, banyak hal yang menarik dicermati, antara lain terjadinya dialog budaya antara budaya asli Jawa dengan berbagai nilai yang datang dan merasuk kedalam budaya Jawa. Proses tersebut memunculkan berbagai varian dialektika, sekaligus membuktikan elastisitas budaya Jawa. Pada saat agama Hindu-Budha datang, memunculkan satu varian dialektika budaya Jawa bercorak Hindu-Budha dengan corak khusus pengaruh budaya India. Demikian juga pada saat Islam datang dan berinteraksi dengan budaya Jawa, melebur menjadi satu. Dalam hal ini, ada dua corak yang tampak dipermukaan, yakni Islam mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dipengaruhi oleh budaya Jawa.
Sastra merupakan salah satu hasil dari interelasi nilai budaya Jawa dan Islam. Keberadaan karya sastra dalam perspektif kebudayaan secara langsung atau tidak langsung telah melahirkan berbagai kemungkinan yang dapat diinterpretasi sebagai kekayaan semesta. Sastra sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang meliputi teori sastra (membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra, unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra, jenis-jenis sastra dan perkembangan pemikiran sastra), sejarah sastra (membicarakan dinamika tentang sastra, pertumbuhan atau perkembangan suatu karya sastra, tokoh-tokoh dan ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan suatu karya sastra).
Sastra dalam masyarakat Jawa memiliki peranan cukup penting dalam pembangunan peradaban. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya karya sastra baik lisan maupun tulisan yang menyertai sejarah perjalanan peradaban masyarakat Jawa. Sastra menjadi media yang dianggap penting dalam mengajarkan dan menjaga nilai-nilai Jawa (kejawen) yang sempat dipengaruhi oleh nilai-nilai atau ajaran animisme – dinamisme, Hindu dan Budha. Sastra pula tak jarang digunakan untuk memperkokoh kekuasaan dan kedudukan politik para raja.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, penulis sangat tertarik membahas lebih lanjut tentang interelasi nilai Jawa dan Islam dalam bidang sastra tersebut.
    II.            RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari penjelasan-penjelasan yang telah dipaparkan diatas dan untuk membatasi kajian-kajian menjadi lebih spesifik, maka diperlukan rumusan-rumusan masalah yang benar-benar fokus. Dari latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diambil oleh penulis yaitu sebagai berikut :
1.      Apa pengertian sastra dalam islam dan budaya jawa?
2.      Bagaimana periodisasi sastra Jawa?
3.      Bagaimana perkembangan sastra pada masa Hindu – Budha?
4.      Bagaimana interelasi nilai Jawa dan Islam dalam bidang sastra?
5.    Bagaimana perkembangan sastra pada masa Demak, Pajang dan Mataram?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sastra
Menurut Teeuw sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Jamil bahwa kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yang berasal dari akar kata ‘sas’ yang dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/instruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ (menjadi susastra). Su artinya baik, indah. Sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah. Sedangkan sastra jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktivitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya jawa.[1]
Istilah sastra dalam bahasa inggris juga dikenal sebagai literature yang menunjuk pada karya tulis atau karya tulis ayang dicetak. Berbicara tentang sastra takkan lepas dari fungsi sastra. Fungsi sastra ialah mengungkap sebuah keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas. Suatu karya sastra diaktakan memiliki keindahan karena sastra yang diungkap melalui prosa, puisi, ataupun drama. Yang terpenting mengenai fungsi karya sastra yaitu memiliki nilai hiburan dan nilai didaktik, dapat juga bernilai hiburan dan mengajarkan pesan moral.[2]
B.     Periodisasi Sastra Jawa
Dalam perkembangan sastra Jawa, terdapat beberapa penggolongan hasil karya sastra, diantaranya berdasar kaitannya dengan kurun waktu, yakni sastra Jawa Kuno, Jawa baru dan Jawa modern. Prof. Poerbatjaraka menyuguhkan pembabakan berdasarkan zaman ini dimana pusaka-pusaka itu ditulis oleh penciptanya, yaitu sastra Jawa kuno[3], sastra Jawa pertengahan[4] dan sastra Jawa zaman Islam.
Ada pula pembabakan berdasar pada kerajaan, yakni sastra zaman Hindu, zaman Majapahit, zaman Islam, zaman Mataram dan sesudah Mataram. Sedangkan Pigeaud memperinci periodisasi sastra jawa berdasar pengaruh kebudayaan, yaitu:[5]  
Periode pertama adalah pra Islam (900-1500 M), dimana manuskrip-manuskrip Jawa kuno sebagian besar ditulis di Jawa Timur. Periode ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India. Dari perkembangan kebudayaan Jawa ditemukan bukti bahwa kebudayaan Hindu sangat berperan dalam pembentukan sastra Jawa Kuno, mulai dari pengenalan huruf sampai pada sastra keagamaan, seperti Mahabrata dan Ramayana yang mengandung ajaran moral.
Periode kedua adalah periode Jawa-Bali. Pada periode ini sastra Jawa berada dalam lingkup pengaruh raja Hindu di Bali. Sastra jawa dipelihara dan dilestarikan di Bali oleh orang-orang Hindu Majapahit yang lari ke Bali karena tidak mau memeluk Islam.
Periode ketiga adalah era sastra pesisiran. Daerah-daerah pesisir utara Jawa yang menjadi pusat perdagangan seperti Surabaya, Gresik, Jepara, Demak, Cirebon dan Banten merupakan pusat munculnya sastra Jawa pesisiran.
Periode keempat yaitu terjadinya renaisains dalam sastra Jawa klasik yang berpusat di Keraton Surakarta abad 18 dan 19. Bahasa “Krama” adalah mode budaya istana sentris yang berbau feudal dan merupakan salah satu ciri sastra Jawa pada masa tersebut.
C.    Perkembangan Sastra Pada Masa Hindu-Budha
Pada masa Hindu-Budha, rupanya ada hak-hak istimewa raja dalam pembinaan kesenian itu meskipun tidak disebut dalam prasasti-prasasti. Dari awal masa itu sampai dengan masa Majapahit awal kesusastraan yang beerbentuk kakawin yang rumit itu hanya dihasilkan oleh istana – istana raja. Contoh kakawin masa itu yang terkenal adalah :[6]
*      Ramayana
*      Arjunawiwaha
*      Smaradahana
*      Bharatayuddha
*      Kresnayana
*      Ghatotkacasraya
*      Sutasoma
*      Arjunawijaya, dan lain –lain
Karya – karya kakawin yang agaknya di buat di luar istana raja baru muncul pada masa Majapahit akhir, dengan contoh kakawin “Kunjarakarna”. Keterkaitan raja dengan karya-karya susastra tersebut dapat diketahui dari ada tidaknya ungkapan penghormatan dan penghargaan kepada raja yang tertulis di dalam karya-karya itu sendiri.[7]
Peranan istana raja dalam pembinaan seni suara dan tari pun tersirat dari kutipan karya-karya sastra sejaman yang menceritakan betapa penyanyi dan penari yang baik diberi hadiah-hadiah berupa kain, cincin atau gelang oleh raja. Keunggulan putri-putri raja, bahkan raja sendiri dalam berolah seni diceritakan dalam beberapa karya sastra masa Hindu- Budha, baik yang berupa kekawin berbahasa Jawa kuno maupun yang berupa kidung berbahasa Jawa pertengahan. Salah satu contohnya adalah Hayam Wuruk dalam Nagarakertagama.[8]
Namun juga terdapat siratan dari karya-karya sastra itu bahwa para pekerja yang mengabdi di istana raja itu bisa direkrut dari pedesaan, dan membawa serta kepercayaan-kepercayaan kerakyatannya. Misalnya kutipan kekawin Bharatayuddha (VI. 2-3) tentang wanita-wanita di dalam istana Hastina yang mencuri-curi mengambil bunga sajian bagi Ganesha, dimasukkan kedalam sanggulnya sebagai semacam azimat cinta. Kepercayaan mengenai daya magis dari hal-hal yang terkait dengan Ganesha lebih tepat dipaparkan dalam kitab-kitab prosa produk luar ke rotan, seperti Tantu Panggelaran dan Korawasrama yang diciptakan sekitar akhir kerajaan Majapahit. Benda-benda lambang Ganesha yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan harum tertentu, maupun dari logam dan batu, merupakan tempat mujarab untuk meminta sesuatu. Kitab-kitab untuk itu juga memaparkan kemampuan-kemampuan khas dewa Gana (Ganesha) untuk menebak dan mengutarakan kenyataan yang tersembunyi. Penggambaran sifat yang demikian dari dewa berkepala gajah itu sangat berbeda dengan yang ada pada kekawin-kekawin produk keraton. Misalnya, kekawin Samaradahana yang memang memberikan cerita panjang lebar mengenai kelahiran dan peperangan dewa berkepala gajah itu melawan musuh-musuh dewa, menggambarkan Ganesha sebagai tokoh yang bersifat wira, gagah berani dan menggemparkan.[9]
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa karya sastra pada masa Hindu-Budha yakni mengenai dewa tersebut yang dikembangkan dikalangan keraton berbeda dengan yang diluar keraton. Dalam perjalanan waktu yang panjang di masa Hindu Budha itu, yaitu dari abad VII hingga abad XVI. Kiranya dari waktu ke waktu terdapat hubungan saling melihat antara pihak keraton dengan pihak luar keraton, untuk kemudian saling mengambil. Peranan raja sebagai pemimpin kerajaan tentunya cukup besar untuk membuahkan mutu seni dan sastra yang meningkat dan perangkat kaidah yang semakin kuat.
D.    Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Bidang Sastra
Karya sastra yang berbentuk puisi merupakan karya sastra yang paling tua di Indonesia. Tidak hanya di Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah itu muncul parikan dan syair/wangsalan, yang di Jawa dikenal dengan ‘macapat’. Mantra dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra.[10]
Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah gurindam, talibun, tersina dan sebagainya yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair.[11]
Dalam tradisi jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan.[12] Parikan merupakan puisi berupa pantun model jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan berupa dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya. Wangsalan sendiri memiliki banyak macamnya, diantaranya yaitu yang menjadi satu dalam sebuah tembang. Contohnya:
Sinom  : Jamang wakul kamandaka
Kawengku ing jinem wangi
Kayu malang munggen wangan
Sun wota sabudineki
Roning kacang wak mami
Yen tan panggih sira nglayung
Toya mijil sing wiyat
Roning pisang leash ing wit
Edanira tan waras dening usada
Parikan : Tjengkir wungu , wungune ketiban ndaru.
 Wis pestimu, kowe pisah karo aku
Perbedaan yang mendasar antara wangsalan dan parikan, terletak pada maksud. Jika wangsalan mengandung maksud, parikan tidak mengandung maksud.
Istilah interelasi secara sederhana disini diartikan sebagai islam dijawakan sedangkan Jawa diislamkan. Keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru. Sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam.[13]
Kualitas keislaman para pujangga saat itu tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para pembaca seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad 18-19) belum banyak seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan dalam perkembangannya pujangga keraton aktif dalam karya sastranya untuk tujuan politik keraton. Sementara itu, kalangan rakyat banyak mengembangkan sastra yang bernuansa religius untuk kepentingan pengenalan ajaran islam. Dan semua karya sastra jawa baru yang sering digunakan para pujangga keraton Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb. Ranggawarsita, dan Susuhunan Pakubuwana IV) memakai puisi (tembang/macapat) dalam menyusun karya-karya sastranya.[14]
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa munculnya tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa, yaitu setelah jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit.
Walaupun demikian, warna islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu:[15]
1.   Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa)
2.   Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk atau nasehat kepada siapapun)
Contoh karya-karya sastra pujangga yang menggunakan puisi jawa baru :
a)                   Karya-karya sastra Sri Mangkunegara IV (serat-serat piwulang)
·      Serat warganya (1784), memakai tembang dandanggula, berisi 10 bait.
·      Serat wirawiyata, memakai tembang sinom (42 bait) dan tembang pangkur (14 bait),
·      Serat sriyatna, memakai tembang dhandanggula (15 bait),
·      Serat nayakawara, memakai tembang pangkur (21 bait) dan tembang pangkur (12 bait),
·      Serat paliatma (1793), memakai tembang mijil (11 bait) dan tembang pucung (11 bait),
·      Serta seloka tama (1799), memakai tembang mijil (31 bait),
·      Serat dharmalaksita (1807), memakai tembang dhandanggula (12 bait), tembang kinanthi (18 bait) dan tembang mijil (8 bait),
·      Tembang triparma, memakai tembang dhandanggula (7 bait) dan tembang kinanthi (7 bait),
·      Serat wedhatama, memakai tembang pucung (15 bait), gambuh (25 bait), pangkur (14 bait) dan sinom (18 bait).
b)                  Karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita (tak-terkenal) :
·      Serat katalida, memakai tembang sinom (2 bait)
·      Serat sabjati, memakai tembang megathruh (19 bait)
·      Serat sandhatama, memakai tembang gambuh (22 bait)
·      Serat wedharaga, memakai tembang gambuh (38 bait)
c)                   Karya sastra Susuhunan Pakubuwana IV :
·      Sastra wulangeh, yang memakai tembang-tembang dhandanggula (18 bait), kinanthi (16 bait), gambuh (17 bait), pangkur (17 bait), maskumambang (34 bait), megatruh (17 bait), druma (12 bait), wirangrong (27 bait), pucung (23 bait), asmaradhana (28 bait), sinom (33 bait) dan girisa (12 bait)
Sedangkan corak yang mendominasi karya-karya sastra Jawa baru diantaranya masalah jihad, masalah ketauhidan dan masalah moral / perilaku yang baik.
o   Masalah Jihad, dalam serat wirawiyata (Mangkunegara IV) dengan implementasi, bagi setiap umat islam, sifat dan sikap seperti yang dimiliki prajurit sangat diperlukan dalam menghadapi era globalisasi dan membentuk manusia Indonesia dari abad milenium baru, yang akan melahirkan generasi yang handal dan memiliki kemampuan daya saing tinggi.
o   Mendekatkan diri pada Tuhan, dalam sera naya kawara, dengan implementasi, mendekatkan diri kepada Tuhan, apabila selalu mendekatkan diri kepada-Nya tentu akan diberikan petunjuk-Nya.
o   Memiliki moral yang baik, dalam serat selokatama, dengan implementasi, setiap muslim hendaknya memiliki perilaku akhlakul karimah, karena dengan perilaku tersebut seseorang akan terhindar dari perilaku yang jahat.
Dalam sastra jawa yang dipakai adalah satra pujangga keraton surakarta yang memiliki metrum islam, yaitu mijil, kinanti, pucung, sinom, asmaradana, dhandhanggula, pangkur, maskumambang, durma, gambuh, dan megatruh.
Maksud dari keterkaitan antara islam dan karya sastra jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Karya-karya sastra jawa adalah karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang hidup pada zaman periode jawa baru yang memiliki metrum islam.
Pada zaman kemerdekaan karya-karya Jawa islami sulit ditemukan, dikarenakan bahwa kebanyakan pembuat puisi masih enggan membuat puisi yang islami. Kebanyakan mereka membuat karya-karya sastra yang nJawani dari pada islami. Selain itu, puisi Jawa yang islami belum dianggap ngetren, sehingga kebanyakan mereka menyukai puisi yang nJawani.[16]
E.     Perkembangan Sastra Pada Masa Demak, Pajang dan Mataram
a)                              Pada Masa Kerajaan Demak[17]
Periode ini diprakarsai oleh Kesultanan Demak Bintoro. Pada masa ini segala daya upaya, pikiran, kekuatan fisik dicurahkan untuk membentuk masyarakat islam. Dan pada masa keemasannya banyak kitab yang ditulis. Kebanyakan kitab yang ditulis karena pengaruh agama Islam, diantaranya : het boek van bonang, een javaans geschrift uit de 16 eeuw, suluk sukarsa. Serat nitisruti, serta nitipraja, serat sewaka, serat menak, serat regganis, serat manikmaya, serat ambiya dan serat kandha.
b)                              Pada Masa Kerajaan Pajang[18]
Periode ini diprakarsai oleh Sultan Hadiwijaya. Pada periode ini ditandai dengan pergeseran kebudayaan pesisir menjadi kebuudayaan pedalaman. Selama pemerintahan raja Adiwijaya dari Pajang. Kesusasteraan dan kesenian keraton yang sudah maju peradabannya di Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa Tengah. Pada paruh kedua abad ke-16 pangeran Karang Gayam menulis sajak moralistic Jawa nitisruti. Dalam cerita tutur sastra Jawa mendapat julukan “Pujangga PaJang”. Dari cerita tutur mengenai nitisruti dan pengarangnya pangeran Karang Gayam, boleh diambil kesimpulan bahwa pada zaman kesultanan Pajang kesusasteraan Jawa juga dihayati dan dihidupkan di Jawa Tengah bagian selatan.
c)                              Pada Masa Kerajaan Mataram
Pada masa kerajaan Islam, kesusasteraan Jawa berkembang dengan pesat. Sultan Agung sebagai raja pada masa itu menuliskan kitab sastra gendhing yang serupa dengan kitab filsafat yang memuat filsafat Jawa pada umumnya. Selain itu ada pula kitab yang diilhami dari cerita Ramayana, yaitu : nitisruti, niti, sastra dan astabrata.
 IV.            KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa pembahasan diatas, maka selanjutnya penulis akan memberikan kesimpulan sebagai jawaban dari berbagai pokok permasalahan sebagai berikut:
1.      Sastra merupakan suatu keindahan atau dapat dikatakan suatu karya tertulis yang mampu menghanyutkan suasana sang pembaca, pendengar, dan juga penonton menjadi terlena karna sastra yang diungkap melalui prosa, puisi, ataupun drama. Sedangkan fungsi dari sastra itu sendiri yaitu mengungkap sebuah keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas. Selain itu sastra juga memiliki nilai hiburan yang tinggi.
2.      Sastra jawa memiliki 4 periode diantaranya yaitu: Periode Pra Islam, periode Jawa-Bali, periode sastra pesisiran dan periode renaisains sastra jawa klasik.
3.      Sedangkan dalam perkembangannya, sastra pada masa hindu budha dikenal dengan yang namanya mantra. Mantra tersebut hanya boleh dibaca atau diucapkan oleh orang yang dianggap memiliki daya linuwih saja. Namun karya sastra itu tidak hanya berupa mantra, tetapi sudah berkembang, ada yang namanya pantun atau syair, yang lebih dikenal pada saat itu dengan sebuan parikan dan wangsalan.
4.      Interelasi atau keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra tersebut. Sedangkan perbedaan dari karya sastra pada masa Hindu – Budha dengan karya sastra hasil dari interelasi tersebut yaitu:
·         karya sastra pada masa Hindu Budha lebih banyak menceritakan tentang kepercayaan terhadap dewa-dewa.
·         Sedangkan setelah terjadi interelasi karya sastra yang dibuat sudah terpengaruh dengan unsur Islam yaitu unsur ketauhidan dan unsur kebijakan yang salah satu tujuannya sebagai jalan dakwah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Anasom, dkk, Merumuskan Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981.
Hadisutrisno, Budiono, Islam Kejawen, Yogyakarta: Eule Book, 2009.
Jamil, A, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Sedyawati, Edi, Budaya Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.