Bidang Sastra
ABSTRAK
Sejarah Islam di Jawa
telah berjalan cukup lama. Selama perjalanan tersebut, banyak hal yang
menarik dicermati, antara lain terjadinya dialog budaya antara budaya
asli Jawa dengan berbagai nilai yang datang dan merasuk kedalam budaya Jawa.
Proses tersebut memunculkan berbagai varian dialektika, sekaligus
membuktikan elastisitas budaya Jawa. Pada saat agama Hindu-Budha datang, memunculkan satu varian dialektika budaya Jawa bercorak Hindu-Budha dengan corak khusus pengaruh budaya India. Demikian juga pada saat Islam
datang dan berinteraksi dengan budaya Jawa, melebur menjadi satu. Dalam
hal ini, ada dua corak yang tampak dipermukaan, yakni Islam
mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dipengaruhi oleh budaya
Jawa.
Sastra merupakan salah satu hasil dari interelasi nilai budaya Jawa dan Islam.
Keberadaan karya sastra dalam perspektif kebudayaan secara langsung
atau tidak langsung telah melahirkan berbagai kemungkinan yang dapat
diinterpretasi sebagai kekayaan semesta. Sastra
sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas,
yang meliputi teori sastra (membicarakan pengertian-pengertian dasar
tentang sastra, unsur-unsur yang membentuk suatu karya sastra,
jenis-jenis sastra dan perkembangan pemikiran sastra), sejarah sastra
(membicarakan dinamika tentang sastra, pertumbuhan atau perkembangan
suatu karya sastra, tokoh-tokoh dan ciri-ciri dari masing-masing tahap
perkembangan suatu karya sastra).
Sastra dalam masyarakat Jawa
memiliki peranan cukup penting dalam pembangunan peradaban. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya karya sastra baik lisan maupun tulisan yang
menyertai sejarah perjalanan peradaban masyarakat Jawa. Sastra menjadi media yang dianggap penting dalam mengajarkan dan menjaga nilai-nilai Jawa (kejawen) yang sempat dipengaruhi oleh nilai-nilai atau ajaran animisme
– dinamisme, Hindu dan Budha. Sastra pula tak jarang digunakan untuk
memperkokoh kekuasaan dan kedudukan politik para raja.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, penulis sangat tertarik membahas lebih lanjut tentang interelasi nilai Jawa dan Islam dalam bidang sastra tersebut.
II. RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari penjelasan-penjelasan yang telah dipaparkan diatas dan untuk membatasi kajian-kajian menjadi lebih spesifik, maka diperlukan rumusan-rumusan masalah yang benar-benar fokus. Dari latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diambil oleh penulis yaitu sebagai berikut :
1. Apa pengertian sastra dalam islam dan budaya jawa?
2. Bagaimana periodisasi sastra Jawa?
3. Bagaimana perkembangan sastra pada masa Hindu – Budha?
4. Bagaimana interelasi nilai Jawa dan Islam dalam bidang sastra?
5. Bagaimana perkembangan sastra pada masa Demak, Pajang dan Mataram?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Sastra
Menurut
Teeuw sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Jamil bahwa kata sastra dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta yang berasal dari akar
kata ‘sas’ yang dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk/instruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana
sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran.
Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ (menjadi susastra). Su artinya
baik, indah. Sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk
yang tertuang dalam dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal
yang baik dan indah. Sedangkan sastra jawa secara praktis diartikan
sebagai suatu bentuk aktivitas tulis menulis dari para pujangga Jawa
dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya
jawa.[1]
Istilah sastra dalam bahasa inggris juga dikenal sebagai literature yang menunjuk pada karya tulis atau karya tulis ayang dicetak. Berbicara tentang
sastra takkan lepas dari fungsi sastra. Fungsi sastra ialah mengungkap
sebuah keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas. Suatu karya sastra
diaktakan memiliki keindahan karena sastra yang diungkap melalui prosa,
puisi, ataupun drama. Yang
terpenting mengenai fungsi karya sastra yaitu memiliki nilai hiburan
dan nilai didaktik, dapat juga bernilai hiburan dan mengajarkan pesan
moral.[2]
B. Periodisasi Sastra Jawa
Dalam perkembangan sastra Jawa,
terdapat beberapa penggolongan hasil karya sastra, diantaranya berdasar
kaitannya dengan kurun waktu, yakni sastra Jawa Kuno, Jawa baru dan
Jawa modern. Prof. Poerbatjaraka menyuguhkan pembabakan berdasarkan
zaman ini dimana pusaka-pusaka itu ditulis oleh penciptanya, yaitu
sastra Jawa kuno[3], sastra Jawa pertengahan[4] dan sastra Jawa zaman Islam.
Ada
pula pembabakan berdasar pada kerajaan, yakni sastra zaman Hindu, zaman
Majapahit, zaman Islam, zaman Mataram dan sesudah Mataram. Sedangkan
Pigeaud memperinci periodisasi sastra jawa berdasar pengaruh kebudayaan,
yaitu:[5]
Periode pertama
adalah pra Islam (900-1500 M), dimana manuskrip-manuskrip Jawa kuno
sebagian besar ditulis di Jawa Timur. Periode ini sangat dipengaruhi
oleh kebudayaan India. Dari perkembangan kebudayaan Jawa ditemukan bukti
bahwa kebudayaan Hindu sangat berperan dalam pembentukan sastra Jawa
Kuno, mulai dari pengenalan huruf sampai pada sastra keagamaan, seperti
Mahabrata dan Ramayana yang mengandung ajaran moral.
Periode kedua
adalah periode Jawa-Bali. Pada periode ini sastra Jawa berada dalam
lingkup pengaruh raja Hindu di Bali. Sastra jawa dipelihara dan
dilestarikan di Bali oleh orang-orang Hindu Majapahit yang lari ke Bali
karena tidak mau memeluk Islam.
Periode ketiga
adalah era sastra pesisiran. Daerah-daerah pesisir utara Jawa yang
menjadi pusat perdagangan seperti Surabaya, Gresik, Jepara, Demak,
Cirebon dan Banten merupakan pusat munculnya sastra Jawa pesisiran.
Periode keempat
yaitu terjadinya renaisains dalam sastra Jawa klasik yang berpusat di
Keraton Surakarta abad 18 dan 19. Bahasa “Krama” adalah mode budaya
istana sentris yang berbau feudal dan merupakan salah satu ciri sastra
Jawa pada masa tersebut.
C. Perkembangan Sastra Pada Masa Hindu-Budha
Pada masa Hindu-Budha, rupanya ada hak-hak istimewa raja dalam pembinaan kesenian itu meskipun tidak disebut dalam prasasti-prasasti. Dari awal masa itu sampai dengan masa Majapahit awal kesusastraan yang beerbentuk kakawin yang rumit itu hanya dihasilkan oleh istana – istana raja. Contoh kakawin masa itu yang terkenal adalah :[6]








Karya – karya kakawin yang agaknya di buat di luar istana raja baru muncul pada masa Majapahit akhir, dengan contoh kakawin
“Kunjarakarna”. Keterkaitan raja dengan karya-karya susastra tersebut
dapat diketahui dari ada tidaknya ungkapan penghormatan dan penghargaan
kepada raja yang tertulis di dalam karya-karya itu sendiri.[7]
Peranan
istana raja dalam pembinaan seni suara dan tari pun tersirat dari
kutipan karya-karya sastra sejaman yang menceritakan betapa penyanyi dan
penari yang baik diberi hadiah-hadiah berupa kain, cincin atau gelang
oleh raja. Keunggulan putri-putri raja, bahkan raja sendiri dalam
berolah seni diceritakan dalam beberapa karya sastra masa Hindu- Budha,
baik yang berupa kekawin berbahasa Jawa kuno maupun yang berupa kidung
berbahasa Jawa pertengahan. Salah satu contohnya adalah Hayam Wuruk dalam Nagarakertagama.[8]
Namun
juga terdapat siratan dari karya-karya sastra itu bahwa para pekerja
yang mengabdi di istana raja itu bisa direkrut dari pedesaan, dan
membawa serta kepercayaan-kepercayaan kerakyatannya. Misalnya kutipan
kekawin Bharatayuddha (VI. 2-3) tentang wanita-wanita di dalam istana
Hastina yang mencuri-curi mengambil bunga sajian bagi Ganesha,
dimasukkan kedalam sanggulnya sebagai semacam azimat cinta. Kepercayaan
mengenai daya magis dari hal-hal yang terkait dengan Ganesha lebih tepat
dipaparkan dalam kitab-kitab prosa produk luar ke rotan, seperti Tantu
Panggelaran dan Korawasrama yang diciptakan sekitar akhir kerajaan
Majapahit. Benda-benda
lambang Ganesha yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan harum tertentu,
maupun dari logam dan batu, merupakan tempat mujarab untuk meminta
sesuatu. Kitab-kitab untuk itu juga memaparkan kemampuan-kemampuan khas
dewa Gana (Ganesha) untuk menebak dan mengutarakan kenyataan yang
tersembunyi. Penggambaran sifat yang demikian dari dewa berkepala gajah
itu sangat berbeda dengan yang ada pada kekawin-kekawin produk keraton.
Misalnya, kekawin Samaradahana yang memang memberikan cerita panjang
lebar mengenai kelahiran dan peperangan dewa berkepala gajah itu melawan
musuh-musuh dewa, menggambarkan Ganesha sebagai tokoh yang bersifat
wira, gagah berani dan menggemparkan.[9]
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa karya sastra pada masa Hindu-Budha
yakni mengenai dewa tersebut yang dikembangkan dikalangan keraton
berbeda dengan yang diluar keraton. Dalam perjalanan waktu yang panjang
di masa Hindu Budha itu, yaitu dari abad VII hingga abad XVI. Kiranya dari waktu ke waktu terdapat hubungan saling melihat antara pihak keraton dengan pihak luar keraton, untuk kemudian saling mengambil. Peranan raja sebagai pemimpin kerajaan tentunya cukup besar untuk membuahkan mutu seni dan sastra yang meningkat dan perangkat kaidah yang semakin kuat.
D. Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Bidang Sastra
Karya
sastra yang berbentuk puisi merupakan karya sastra yang paling tua di
Indonesia. Tidak hanya di Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang
paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah itu
muncul parikan dan syair/wangsalan, yang di Jawa dikenal dengan
‘macapat’. Mantra
dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam
berhubungan dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan).
Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan dengan Yang Maha
Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya kepada
Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra.[10]
Selain
mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di
Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah
gurindam, talibun, tersina dan sebagainya yang memiliki struktur yang
prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair.[11]
Dalam tradisi jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan.[12] Parikan
merupakan puisi berupa pantun model jawa, yang hanya ada saran bunyi
pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan
berupa dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi
merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya.
Wangsalan sendiri memiliki banyak macamnya, diantaranya yaitu yang
menjadi satu dalam sebuah tembang. Contohnya:
Sinom : Jamang wakul kamandaka
Kawengku ing jinem wangi
Kayu malang munggen wangan
Sun wota sabudineki
Roning kacang wak mami
Yen tan panggih sira nglayung
Toya mijil sing wiyat
Roning pisang leash ing wit
Edanira tan waras dening usada
Parikan : Tjengkir wungu , wungune ketiban ndaru.
Wis pestimu, kowe pisah karo aku
Perbedaan
yang mendasar antara wangsalan dan parikan, terletak pada maksud. Jika
wangsalan mengandung maksud, parikan tidak mengandung maksud.
Istilah interelasi secara sederhana disini diartikan sebagai islam dijawakan sedangkan Jawa diislamkan. Keterkaitan
antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat
imperative moral atau mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya
sastra Jawa baru. Sedangkan
puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai
petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang
bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam.[13]
Kualitas keislaman para pujangga saat itu
tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Jadi, para pembaca
seharusnya menyadari bahwa pengetahuan ajaran Islam saat itu (abad
18-19) belum banyak
seperti sekarang ini, sehingga dalam menyampaikan petunjuk/nasehat para
pujangga melengkapi diri dari kekurangannya mengenai pengetahuan
ke-islaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan
dalam perkembangannya pujangga keraton aktif dalam karya sastranya
untuk tujuan politik keraton. Sementara itu, kalangan rakyat banyak
mengembangkan sastra yang bernuansa religius untuk kepentingan
pengenalan ajaran islam. Dan semua karya sastra jawa baru yang sering
digunakan para pujangga keraton Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb.
Ranggawarsita, dan Susuhunan Pakubuwana IV) memakai puisi
(tembang/macapat) dalam menyusun karya-karya sastranya.[14]
Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa munculnya
tembang/sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya Islam di Jawa,
yaitu setelah jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit.
Walaupun demikian, warna islam terlihat sekali dalam substansinya, yaitu:[15]
1. Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa)
2. Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk atau nasehat kepada siapapun)
Contoh karya-karya sastra pujangga yang menggunakan puisi jawa baru :
a) Karya-karya sastra Sri Mangkunegara IV (serat-serat piwulang)
· Serat warganya (1784), memakai tembang dandanggula, berisi 10 bait.
· Serat wirawiyata, memakai tembang sinom (42 bait) dan tembang pangkur (14 bait),
· Serat sriyatna, memakai tembang dhandanggula (15 bait),
· Serat nayakawara, memakai tembang pangkur (21 bait) dan tembang pangkur (12 bait),
· Serat paliatma (1793), memakai tembang mijil (11 bait) dan tembang pucung (11 bait),
· Serta seloka tama (1799), memakai tembang mijil (31 bait),
· Serat dharmalaksita (1807), memakai tembang dhandanggula (12 bait), tembang kinanthi (18 bait) dan tembang mijil (8 bait),
· Tembang triparma, memakai tembang dhandanggula (7 bait) dan tembang kinanthi (7 bait),
· Serat wedhatama, memakai tembang pucung (15 bait), gambuh (25 bait), pangkur (14 bait) dan sinom (18 bait).
b) Karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita (tak-terkenal) :
· Serat katalida, memakai tembang sinom (2 bait)
· Serat sabjati, memakai tembang megathruh (19 bait)
· Serat sandhatama, memakai tembang gambuh (22 bait)
· Serat wedharaga, memakai tembang gambuh (38 bait)
c) Karya sastra Susuhunan Pakubuwana IV :
· Sastra
wulangeh, yang memakai tembang-tembang dhandanggula (18 bait), kinanthi
(16 bait), gambuh (17 bait), pangkur (17 bait), maskumambang (34 bait),
megatruh (17 bait), druma (12 bait), wirangrong (27 bait), pucung (23
bait), asmaradhana (28 bait), sinom (33 bait) dan girisa (12 bait)
Sedangkan
corak yang mendominasi karya-karya sastra Jawa baru diantaranya masalah
jihad, masalah ketauhidan dan masalah moral / perilaku yang baik.
o Masalah
Jihad, dalam serat wirawiyata (Mangkunegara IV) dengan implementasi,
bagi setiap umat islam, sifat dan sikap seperti yang dimiliki prajurit
sangat diperlukan dalam menghadapi era globalisasi dan membentuk manusia
Indonesia dari abad milenium baru, yang akan melahirkan generasi yang
handal dan memiliki kemampuan daya saing tinggi.
o Mendekatkan
diri pada Tuhan, dalam sera naya kawara, dengan implementasi,
mendekatkan diri kepada Tuhan, apabila selalu mendekatkan diri
kepada-Nya tentu akan diberikan petunjuk-Nya.
o Memiliki
moral yang baik, dalam serat selokatama, dengan implementasi, setiap
muslim hendaknya memiliki perilaku akhlakul karimah, karena dengan
perilaku tersebut seseorang akan terhindar dari perilaku yang jahat.
Dalam
sastra jawa yang dipakai adalah satra pujangga keraton surakarta yang
memiliki metrum islam, yaitu mijil, kinanti, pucung, sinom, asmaradana,
dhandhanggula, pangkur, maskumambang, durma, gambuh, dan megatruh.
Maksud dari keterkaitan antara islam dan karya sastra jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Karya-karya
sastra jawa adalah karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang
hidup pada zaman periode jawa baru yang memiliki metrum islam.
Pada zaman kemerdekaan karya-karya Jawa islami sulit ditemukan, dikarenakan
bahwa kebanyakan pembuat puisi masih enggan membuat puisi yang islami.
Kebanyakan mereka membuat karya-karya sastra yang nJawani dari pada
islami. Selain itu, puisi Jawa yang islami belum dianggap ngetren,
sehingga kebanyakan mereka menyukai puisi yang nJawani.[16]
E. Perkembangan Sastra Pada Masa Demak, Pajang dan Mataram
a) Pada Masa Kerajaan Demak[17]
Periode
ini diprakarsai oleh Kesultanan Demak Bintoro. Pada masa ini segala
daya upaya, pikiran, kekuatan fisik dicurahkan untuk membentuk
masyarakat islam. Dan pada masa keemasannya banyak
kitab yang ditulis. Kebanyakan kitab yang ditulis karena pengaruh agama
Islam, diantaranya : het boek van bonang, een javaans geschrift uit de
16 eeuw, suluk sukarsa. Serat nitisruti, serta nitipraja, serat sewaka, serat menak, serat regganis, serat manikmaya, serat ambiya dan serat kandha.
b) Pada Masa Kerajaan Pajang[18]
Periode
ini diprakarsai oleh Sultan Hadiwijaya. Pada periode ini ditandai
dengan pergeseran kebudayaan pesisir menjadi kebuudayaan pedalaman. Selama
pemerintahan raja Adiwijaya dari Pajang. Kesusasteraan dan kesenian
keraton yang sudah maju peradabannya di Demak dan Jepara lambat laun
dikenal di pedalaman Jawa Tengah. Pada paruh kedua abad ke-16 pangeran
Karang Gayam menulis sajak moralistic Jawa nitisruti. Dalam cerita tutur
sastra Jawa mendapat julukan “Pujangga PaJang”. Dari cerita tutur
mengenai nitisruti dan pengarangnya pangeran Karang Gayam, boleh diambil
kesimpulan bahwa pada zaman kesultanan Pajang kesusasteraan Jawa juga
dihayati dan dihidupkan di Jawa Tengah bagian selatan.
c) Pada Masa Kerajaan Mataram
Pada
masa kerajaan Islam, kesusasteraan Jawa berkembang dengan pesat. Sultan
Agung sebagai raja pada masa itu menuliskan kitab sastra gendhing yang
serupa dengan kitab filsafat yang memuat filsafat Jawa pada umumnya.
Selain itu ada pula kitab yang diilhami dari cerita Ramayana, yaitu :
nitisruti, niti, sastra dan astabrata.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan
beberapa pembahasan diatas, maka selanjutnya penulis akan memberikan
kesimpulan sebagai jawaban dari berbagai pokok permasalahan sebagai
berikut:
1. Sastra
merupakan suatu keindahan atau dapat dikatakan suatu karya tertulis
yang mampu menghanyutkan suasana sang pembaca, pendengar, dan juga
penonton menjadi terlena karna sastra yang diungkap melalui prosa,
puisi, ataupun drama. Sedangkan fungsi dari sastra itu sendiri yaitu
mengungkap sebuah keindahan, nilai manfaat dan nilai moralitas. Selain
itu sastra juga memiliki nilai hiburan yang tinggi.
2. Sastra
jawa memiliki 4 periode diantaranya yaitu: Periode Pra Islam, periode
Jawa-Bali, periode sastra pesisiran dan periode renaisains sastra jawa
klasik.
3. Sedangkan
dalam perkembangannya, sastra pada masa hindu budha dikenal dengan yang
namanya mantra. Mantra tersebut hanya boleh dibaca atau diucapkan oleh
orang yang dianggap memiliki daya linuwih saja. Namun karya sastra itu
tidak hanya berupa mantra, tetapi sudah berkembang, ada yang namanya
pantun atau syair, yang lebih dikenal pada saat itu dengan sebuan
parikan dan wangsalan.
4. Interelasi
atau keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah
keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu
menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra
tersebut. Sedangkan perbedaan dari karya sastra pada masa Hindu – Budha
dengan karya sastra hasil dari interelasi tersebut yaitu:
· karya sastra pada masa Hindu Budha lebih banyak menceritakan tentang kepercayaan terhadap dewa-dewa.
· Sedangkan
setelah terjadi interelasi karya sastra yang dibuat sudah terpengaruh
dengan unsur Islam yaitu unsur ketauhidan dan unsur kebijakan yang salah
satu tujuannya sebagai jalan dakwah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Anasom, dkk, Merumuskan Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004.
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981.
Hadisutrisno, Budiono, Islam Kejawen, Yogyakarta: Eule Book, 2009.
Jamil, A, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Sedyawati, Edi, Budaya Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.